TEKADPemerintah Provinsi Sumatera Utara
untuk mewujudkan masyarakat yang bermartabat tampaknya segera diseriusi dengan
lima program prioritas. Gubsu dan Wakilnya, Edy Rachmayadi dan Musa Rajekshah
menegaskan, salahsatu program terdepan itu adalah meningkatkan daya saing dalam
menghadapi persaingan yang semakin ketat dan mensejahterakan masyarakat.
Secara
keseluruhan, selain secara konkret dituangkan dalam dokumen resmi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sumut 2018 – 2023, program tersebut
di atas perlu ditopang melalui optimalisasi pendapatan daerah dari berbagai
sumber, sehingga Sumut nantinya diproyeksikan menjadi salah satu provinsi
terbaik di Indonesia selama periode 2018-2023.
Dengan APBD yang
sudah disahkan Rp 15 triliun lebih tahun 2018, dan diproyeksikan mencapai Rp 18
triliun lima tahun ke depan, kerja keras, kesungguhan dan kemitraan tiga pilar
– pemerintah, swasta dan masyarakat – amat dibutuhkan untuk mewujudkan Sumut bermartabat.
Dari sisi perolehan
anggaran, diakui hingga saat ini Sumut masih mengandalkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dari pajak kendaraan, yang digunakan untuk membangun Sumatera
Utara. Untuk tahun 2018, realisasi pajak daerah Sumut mencapai Rp 5,219 triliun
atau 100,09%, dari yang ditargetkan sebesar Rp 5,214 triliun. Khusus untuk
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Biaya Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
terdapat over target (kelebihan)
sebesar Rp 538,564 miliar. Hingga saat ini, belum ada yang menandingi pemasukan
tersebut. Namun itu bukan berarti kita menutup mata dengan PAD di sektor
lainnya, yang diharapkan bisa menambah pundi-pundi pendapatan asli dari
Provinsi Sumut.
Kalau kita
cermati, tambahan peluang baru yang bisa menggemukkan kas provinsi melalui PAD ada
di sektor perkebunan, yang merupakan bagian integral dari sektor pertanian. PAD
dimaksud diperoleh dari Dana Bagi Hasil (DBH) kepada masing-masing provinsi,
kabupaten/kota di Indonesia sesuai aturan dan perundangan yang berlaku. Namun
sejauh ini, meski Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah mengatur
dan mengandalkan PAD sebagai sumber
terbesar Pendapatan Daerah sudah lebih 15 tahun diberlakukan, toh tetap mencerminkan rasa
ketidakadilan. Disebut demikian, karena kewajiban kita untuk mematuhi
undang-undang sebagai input, tak setara
dengan output, yakni hasil yang kita
peroleh.
Di Sumut saja, kondisi
penerimaan dan pemasukan pendapatan di subsektor perkebunan bertolak belakang
dengan kondisi riil yang ada. Luas perkebunan di provinsi ini mencapai 2.169.601,62
hektar, dengan produksi 4,2 juta ton per hektar per tahun sesuai data tahun
2017, dan terhampar di sejumlah kabupaten/kota di provinsi berpenduduk 14,4
juta jiwa ini. Subsektor perkebunan ini selain diurus pemerintah daerah, juga dikelola
tiga perusahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta ratusan perkebunan besar
swasta.
Besarnya luasan kebun
tersebut, membuat Sumut diakui sebagai salahsatu pusat perkebunan di Indonesia,
dengan komoditas unggulan, antaralain kelapa sawit, karet, kopi, kelapa, dan kakao
disusul coklat dan tembakau. Dengan potensi itu, prospek perkebunan di Sumut
sangat menjanjikan, lantaran saat ini sentra perkebunan lebih maju ketimbang
sektor lain dan ini kesempatan besar untuk memajukan pertumbuhannya, terutama
dari segi investasi.
Semua kegiatan
di subsektor ini diatur dan dilindungi undang-undang, termasuk aturan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No 31/PJ/2014, Pajak Bumi dan Bangunan sektor
perkebunan atau PBB Perkebunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang
berada di kawasan kegiatan usaha perkebunan. Pajaknya pun tak hanya perkebunan
sebagai objek, tetapi subyek (orang atau badan) selaku wajib pajak sekaligus
digarap
Setoran dari
pajak perkebunan wajib disetor sesuai amanat UU No 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan
peraturan pemerintah (PP) No 55 tahun 2005 tentang dana perimbangan yang
mencakup DBH Sumber Daya Alam (SDA), yang pengalokasiannya didasarkan pada
realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB). Dana DBH Pajak meliputi 3
(tiga) jenis, yaitu: DBH Pajak Bumi dan Bangunan (DBH PBB); DBH Pajak
Penghasilan (DBH PPh); serta DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Berdasarkan
peraturan itu, PNBP hanya dibagihasilkan dengan persentase tertentu ke daerah
penghasil di provinsi, dan kabupaten/kota sekitarnya.
Namun di lain
pihak, kepatuhan membayar itu tak semanis dengan output, berupa kucuran
Dana Bagi Hasil (DBH) yang merupakan hak daerah yang memiliki kebun. Aliran
dana yang mengucur ke Sumut secara keseluruhan hanya Rp 118 miliar, sementara PAD
dari PT perkebunan tercatat Rp 6,5 miliar, sebagaimana dipaparkan Kepala Badan
Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) Sumatra Utara (Sumut), Sarmadan
Hasibuan, belum lama ini. Sungguh
kontras dengan setoran yang diberikan, yang nilainya mencapai angka triliunan rupiah setiap periodik.
KOMITMEN MEREBUT PAJAK PERKEBUNAN
JADI KEWENANGAN PROVINSI
Dengan
kondisi yang tidak sebanding itu, maka sudah dipandang perlu untuk mengupayakan
langkah agar dana di sektor perkebunan
diambilalih menjadi wewenang provinsi. Memang sejauh ini sudah ada upaya agar
nantinya Dana Bagi Hasil (DBH) di sektor perkebunan dapat menjadi penguat PAD
yang sudah ada, tetapi toh tidak memberikan
hasil maksimal.
Pemerintah Provinsi Sumut juga sudah
mengusulkan adanya pengalihan wewenang terhadap DBH Sektor Perkebunan, dengan
alasan DBH yang diberikan pemerintah pusat, masih jauh cukup. Jangankan untuk
membangun provinsi/kabupaten/kota, untuk pembangunan jalan di areal perkebunan,
dan berbagai masalah berkaitan dengan sengketa lain pun, tak memadai digunakan.
Coba kita lihat DBH
tahun 2018 untuk Sumut. Berdasarkan data, jumlah secara keseluruhan untuk Dana
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (dari berbagai jenis pajak) tercatat Rp40.601.050.501.230,00
(empat puluh triliun enam ratus satu miliar lima puluh juta lima ratus satu
ribu dua ratus tiga puluh rupiah).
Angka ini
kemudian dibagi kepada daerah sebesar 6,5 persen sebagaimana ditetapkan dalam UU No 19 tahun 2012 tentang
APBN, Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2017 tentang Rincian Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.07 /2017 tentang Pengelolaan
Transfer ke Daerah dan Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 537) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dcngan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 121/PMK.07/2018 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah
dan Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1341).
Jika mengacu pada jumlah tersebut di atas, sebanyak
415 kabupaten, 1 kabupaten administrasi, 93 kota, dan kota administrasi 5 di 34
provinsi di Indonesia, akan memeroleh masing-masing tak lebih dari Rp 110
miliar. Adapun untuk setiap provinsi,
angka itu dibelah lagi bagi setiap provinsi yang mendapatkan jatah 16,2 persen, yang kalau diestimasi
angkanya masih di hitungan seratusan miliar. Jika dianalisa secara global, angka ini jelas
tidak menunjukkan keberpihakan, karena luas hutan di seluruh Indonesia
berbeda-beda, sedangkan peraturan itu main pukul rata, sehingga hasil yang
dibagikan menjadi jumlah yang dirata-ratakan. Cilakanya, yang luas hutannya kecil ketiban jatah yang sama
pula.
Bandingkan
dengan asumsi produksi 4,2 juta ton per hektare per tahun dari luas hutan
produktif 2, 2 juta hektar di Sumut, dengan bayaran nilai pajak yang disetor di
angka terendah untuk Rp 1.000 per meter untuk jenis pajak Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Hasil (PPH), sebagaimana Undang-Undang Nomor
28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, diperoleh angka kasar sekitar
Rp 42 triliun. (Rp 1000 x 4,2 juta ton) setiap tahun !
Dengan asumsi
tersebut di atas, maka Provinsi Sumut diyakni sudah mampu mengelola keuangan
daerahnya secara lebih mapan, terukur dan mandiri dalam mewujudkan masyarakat
yang adil dan bermartabat. Sesungguhnya, dana bagi hasil perkebunan merupakan
cita-cita dan harapan Provinsi Sumut dan provinsi lain yang memiliki lahan
perkebunan yang luas. Sebab, dengan area perkebunan yang luas itu diyakini dapat
menghidupi kebutuhan masyarakat Sumut yang adil dan bermartabat. Itu lantaran
kontribusi langsung dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) melampaui pendapatan
apapun.
Karenanya, semua
pemangku kepentingan (stakeholder) di
daerah ini perlu menguatkan komitmen berdasarkan kepentingan bersama demi
tujuan kesejahteraan dan keadilan, perlu menjadikan pajak perkebunan menjadi target
Sumut dalam mengelola dana di sektor ini. Untuk merebut kewenangan itu memang
tidak ringan. Untuk merubah DBH, harus dirubah pula minimal 4 undang-undang
terkait, yakni UU No 32 tahun 2004 tentang otonomi pemerintahan daerah, UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan pusat dan daerah, UU No 6 tahun
1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, yang kemudian telah
mengalami perubahan menjadi Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 tahun
2000, Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam RPJMD 2018
– 2023 visi Sumut yang maju, aman dan bermartabat akan konkret yang diwujudkan
melalui lima misi, yaitu mewujudkan masyarakat bermartabat dalam kehidupan,
dalam politik, dalam pendidikan, dalam pergaulan dan dalam lingkungan serta
prioritas pembangunan dengan sasaran utama membangun desa menata kota, maka
kekuatan dan potensi, termasuk peran pemerintah, masyarakat dan swasta menjadi
sangat diperlukan.
Jika segalanya
terkoneksi dan terintegrasi dengan baik, dengan penguatan komitmen, program
apapun yang dicetuskan Pemprovsu akan berhasil dengan baik pula. Segalanya akan
mudah terrealisasi bila komponen-komponen yang ada (termasuk Organisasi
Perangkat Daerah) mampu menyamakan pandangan, cita-cita dan harapan.
Kita yakin harus
optimis, namun di lain pihak kita secara bersama perlu terus menerus melakukan
upaya bahkan kalau perlu gebrakan. Dari hasil kajian, ternyata tak hanya Sumut
yang “menderita” lantaran DBH Perkebunan masih cekak alias minim. Ada 12 provinsi yang bernasib sama. Mengingat
Sumut memiliki luas perkebunan yang terbesar kedua setelah Riau, sudah
selayaknya Pemerintah Provinsi Sumut melalui Gubsu memelopori langkah berani,
dengan mengupayakan dua opsi.
Pertama,
melakukan judicial review (penelahaan
hukum) ke Mahkamah Konstitusi, terkait peninjauan hukum yang berkaitan dengan
bagi hasil perkebunan, yang mencakup UU No 32 tahun 2004 tentang otonomi
pemerintahan daerah, UU No 33 tahun 2004
tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, UU No 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata
cara perpajakan, yang kemudian telah mengalami perubahan menjadi Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000, Perubahan Kedua Atas Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Penelaahan ini
diharapkan memberikan pasal-pasal bagihasil yang ditentukan sesuai luasan kebun
satu daerah dari nilai berbagai pajak, dan kewenangan pengelolaan pajak kepada
daerah untuk hak otonomi Dana Bagi Hasil Perkebunan Nonpajak. Dengan 12
provinsi yang mengajukan penelahaan hukum itu, kekuatan menjadi luarbiasa dan
menjadi perhatian serius semua pihak. Diyakini, daya gebraknya menjadi kuat.
Opsi kedua,
mengupayakan perumusan UU Khusus Perkebunan yang memberikan kewenangan seluas-luasnya tentang hak pengelolaan yang
dilakukan sebagaimana amanat otonomi daerah, dengan tetap menunjung asal
keadilan dan pemerataan untuk semua. Dengan kedua opsi ini, Sumut tetap
mendapatkan, paling tidak untuk sementara, mendapatkan PAD melalui optimalisasi
sektor pajak yang dikerek secara maksimal melalui pembangkitan sektor
perkebunan di daerah dan upaya kontribusinya, dan berharap nanti semoga
mendapat PAD yang jauh lebih gede.
Untuk mewujudkan
misi dan visi menuju Sumut bermartabat, jelas membutuhkan kerja sama yang
serius dari semua pemangku kepentingan, terutama tiga pilar – pemerintah,
swasta dan masyarakat – untuk bersama-sama memajukan Sumut. Sudah saatnya pula kita bangkit untuk
mewujudkan mimpi warga Sumut. Semoga ! (Partono
Budy)
·
Penulis wartawan Kilasberita65.com tulisan ini disertakan dalam Lomba Karya Tulis HUT ke-71 Provinsi Sumut tahun 2019.
Komentar
Posting Komentar