KILASBERITA - Jelang musyawarah daerah (Musda) yang rencananya digelar akhir Juli 2020 di Jakarta, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar diminta untuk berhentikan Ahmad Doli Kurnia Tandjung dari dua jabatannya di partai tersebut.
Usulan agar DPP Golkar diminta segera berhentikan Doli disampaikan Pengamat politik dan pembangunan, Azhari AM Sinik kepada sejumlah wartawan, di Medan, Minggu (19/7).
Ini dimaksudkan agar kompetisi merebut posisi Ketua di Musda Golkar Sumut berjalan sehat, demokratis, konstitusional dan tidak ada keberpihakan.
Saat ini, Doli memegang jabatan sebagai Plt Ketua Partai Golkar Sumut dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Partai Golkar. "Kita minta Doli diberhentikan dari dua jabatan tersebut," jelas Sinik.
Pemberhentian ini, kata Direktur Eksekutif Lembaga Independen Pemerhati Pembangunan Sumatera Utara (LIPPSU), ini kompetisi diharapkan tidak ada keberpihakan.
"Keberpihakan kepada salah satu calon ketua, hal biasa di Musda Golkar Sumut. Saya juga bisa memahaminya," lanjutnya.
Tapi, keberpihakan Doli pada salahasatu bakal calon Ketua Golkar Sumut itu di luar kebiasaan.
"Ini telah berdampak Musda pada Februari lalu yang kemudian dianggap tidak sah oleh DPP. Selain itu, pembentukan panitia Musda ulang, tidak diakui DPP. Akibatnya, jadwal Musda ulang Golkar Sumut tidak jelas," kata Azhari.
Penyalahgunaan Wewenang
Menurut Azhari AM Sinik, ada dua hal mendasar perlunya memberhentikan Doli, yakni dugaan penyalahgunaan wewenang dan pembangkangannya kepada DPP, khususnya Ketua Umun Airlangga Hartarto dan Keputusan Mahkamah Partai.
Dua hal inilah yang membuat Musda X dianggap tidak sah dan rapat pembentukan panitia Musda ulang beberapa hari lalu ricuh, karena sebagian pengurus menilai rapat itu bertentangan dengan keputusan Mahkamah Partai Golkar.
Dua alasan ini, lanjut Azhari, sudah kuat menjadi dasar pemberhentian Doli. Belum lagi potensi Doli tersangkut pada masalah hukum soal dugaan penggelapan dana bantuan Pemprov dan DPP sekitar Rp 2 miliar lebih.
Soal Proyek Sirup di DPRD Sumut dan pembangunan jembatan Sei Silau Tanjungbalai yang melibatkan orang-orang dekat Doli. Selama dua tahun menjabat Plt. Ketua, Doli telah mengakumulasi masalah.
Azhari, yang mengaku tidak berpihak pada kubu manapun di Musda Golkar Sumut, mengharapkan Ketum DPP Airlangga Hartarto (AH) segera mengevaluasi keberaaan Doli.
"AH harus tegas, jangan lagi biarkan Doli mengelola Partai. Potensinya untuk membangkang AH cukup tinggi. Kalau dibiarkan, ini bisa merugikan Partai dan AH sendiri," ujarnya.
Selain itu, Azhari juga mendesak AH agar tegas dan jelas-jelas memberi dukungan kepada Musa Rajekshah atau Yasir Ridho.
Azhari justru mempertanyakan apa gunanya diskresi untuk Ijeck jika masih membiarkan Ridho bergerilya mengumpulkan dukungan kabupaten dan kota.
"Setahu saya, dalam sejarah Golkar, diskresi adalah dukungan tersirat ketua umum kepada seseorang menjadi ketua. Kalau sudah ada diskresi, tidak ada lagi yang berani maju. Tapi, karena AH tidak tegas dan tidak jelas mendukung Ijeck, maka Yasir Ridho masih bergerak. Selama AH tidak tegas, Ridho tetap bergerak, melakukan pembangkangan terhadap diskresi Ketum," katanya.
Kalau mendukung Ijeck, kata Azhari, AH harus menegaskan dan Ridho berhenti mencari dukungan.
Kalau mendukung Ridho, AH juga harus tegas, jangan lagi mendorong-dorong Ijeck menjadi ketua.
Kalau sekarang, AH memperlihatkan ambiguitas. Satu fihak mendorong Ijeck maju, di fihak lain membiarkan Ridho juga maju.
Sebenarnya, yang teraniaya dalam hal ini adalah Ijeck. Doli dan Ridho mengunci rapat pintu komunikasi dengan Ketua DPD II.
"Sangat berbahaya kalau diskresi itu tidak diamankan. Sekarang saja, Ijeck sudah sangat teraniaya, baik karena kondisi yang diciptakan DPP maupun karena permainan Doli dan Ridho di DPD II. Sebaiknya AH tegas dan istiqomah dengan diskresi yang dikeluarkan DPP," ujar Azhari. (partonobudy)
Usulan agar DPP Golkar diminta segera berhentikan Doli disampaikan Pengamat politik dan pembangunan, Azhari AM Sinik kepada sejumlah wartawan, di Medan, Minggu (19/7).
Ini dimaksudkan agar kompetisi merebut posisi Ketua di Musda Golkar Sumut berjalan sehat, demokratis, konstitusional dan tidak ada keberpihakan.
Saat ini, Doli memegang jabatan sebagai Plt Ketua Partai Golkar Sumut dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Partai Golkar. "Kita minta Doli diberhentikan dari dua jabatan tersebut," jelas Sinik.
Pemberhentian ini, kata Direktur Eksekutif Lembaga Independen Pemerhati Pembangunan Sumatera Utara (LIPPSU), ini kompetisi diharapkan tidak ada keberpihakan.
"Keberpihakan kepada salah satu calon ketua, hal biasa di Musda Golkar Sumut. Saya juga bisa memahaminya," lanjutnya.
Tapi, keberpihakan Doli pada salahasatu bakal calon Ketua Golkar Sumut itu di luar kebiasaan.
"Ini telah berdampak Musda pada Februari lalu yang kemudian dianggap tidak sah oleh DPP. Selain itu, pembentukan panitia Musda ulang, tidak diakui DPP. Akibatnya, jadwal Musda ulang Golkar Sumut tidak jelas," kata Azhari.
Penyalahgunaan Wewenang
Menurut Azhari AM Sinik, ada dua hal mendasar perlunya memberhentikan Doli, yakni dugaan penyalahgunaan wewenang dan pembangkangannya kepada DPP, khususnya Ketua Umun Airlangga Hartarto dan Keputusan Mahkamah Partai.
Dua hal inilah yang membuat Musda X dianggap tidak sah dan rapat pembentukan panitia Musda ulang beberapa hari lalu ricuh, karena sebagian pengurus menilai rapat itu bertentangan dengan keputusan Mahkamah Partai Golkar.
Dua alasan ini, lanjut Azhari, sudah kuat menjadi dasar pemberhentian Doli. Belum lagi potensi Doli tersangkut pada masalah hukum soal dugaan penggelapan dana bantuan Pemprov dan DPP sekitar Rp 2 miliar lebih.
Soal Proyek Sirup di DPRD Sumut dan pembangunan jembatan Sei Silau Tanjungbalai yang melibatkan orang-orang dekat Doli. Selama dua tahun menjabat Plt. Ketua, Doli telah mengakumulasi masalah.
Azhari, yang mengaku tidak berpihak pada kubu manapun di Musda Golkar Sumut, mengharapkan Ketum DPP Airlangga Hartarto (AH) segera mengevaluasi keberaaan Doli.
"AH harus tegas, jangan lagi biarkan Doli mengelola Partai. Potensinya untuk membangkang AH cukup tinggi. Kalau dibiarkan, ini bisa merugikan Partai dan AH sendiri," ujarnya.
Selain itu, Azhari juga mendesak AH agar tegas dan jelas-jelas memberi dukungan kepada Musa Rajekshah atau Yasir Ridho.
Azhari justru mempertanyakan apa gunanya diskresi untuk Ijeck jika masih membiarkan Ridho bergerilya mengumpulkan dukungan kabupaten dan kota.
"Setahu saya, dalam sejarah Golkar, diskresi adalah dukungan tersirat ketua umum kepada seseorang menjadi ketua. Kalau sudah ada diskresi, tidak ada lagi yang berani maju. Tapi, karena AH tidak tegas dan tidak jelas mendukung Ijeck, maka Yasir Ridho masih bergerak. Selama AH tidak tegas, Ridho tetap bergerak, melakukan pembangkangan terhadap diskresi Ketum," katanya.
Kalau mendukung Ijeck, kata Azhari, AH harus menegaskan dan Ridho berhenti mencari dukungan.
Kalau mendukung Ridho, AH juga harus tegas, jangan lagi mendorong-dorong Ijeck menjadi ketua.
Kalau sekarang, AH memperlihatkan ambiguitas. Satu fihak mendorong Ijeck maju, di fihak lain membiarkan Ridho juga maju.
Sebenarnya, yang teraniaya dalam hal ini adalah Ijeck. Doli dan Ridho mengunci rapat pintu komunikasi dengan Ketua DPD II.
"Sangat berbahaya kalau diskresi itu tidak diamankan. Sekarang saja, Ijeck sudah sangat teraniaya, baik karena kondisi yang diciptakan DPP maupun karena permainan Doli dan Ridho di DPD II. Sebaiknya AH tegas dan istiqomah dengan diskresi yang dikeluarkan DPP," ujar Azhari. (partonobudy)
Komentar
Posting Komentar