MEDAN - Sejumlah orangtua menyesalkan langkah yang diambil Gubsu Edy Rahmayadi yang belum mengizinkan dibukanya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di kabupaten/kota di Sumut. Mereka khawatir, pola pikir anak selama belajar di rumah (daring) tidak maksimal dibanding dengan tatap muka langsung.
Hal ini disampaikan Eben Ezer Panggabean (foto) di Medan, Rabu (9/6), menyikapi pemberitahuan Gubsu yang belum mengizinkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM), karena pandemi Covid-19 yang belum mereda.
Hal ini bertolak belakang dengan putusan pemerintah melalui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim, yang mengharuskan sekolah segera dibuka, terhitung pada tahun ajaran baru 1 Juli 2021.
Menurut Eben, dirinya selaku orangtua wajar cemas karena selama hampir dua tahun, sifat anak didik mengalami perubahan. "Biasanya mereka belajar di sekolah, sekarang hampir dua tahun belajar sistem daring," sebutnya.
Perubahan sifat itu antara lain dari rasa malas untuk belajar sehingga secara psikologis pola pikir mereka tidak lagi tertuntun untuk tekun, berpikir dan belajar bersama guru.
"Itu saya alami sendiri, tiga anak saya, satu SMP dan dua masih SD ketiganya seharian di rumah. Kalau pun belajar atau mengerjakan soal atau PR, mereka melihat dari media sosial, termasuk di situs pencari Google. Ini kan pandainya hanya sebentar, beda kalau di sekolah, anak-anak itu kan bisa menyerap ilmu," katanya.
Learning Loss
Selain itu, sebut Eben, anak-anak yang belajar di rumah berisiko kehilangan pembelajaran atau learning loss dan penyerapan ilmu secara alami menggunakan akal dan rasio menjadi terjauhkan.
Dampak lain yang ditimbulkan dari belajar di rumah adalah adanya istilah bagi lulusan SD, SMP bahkan SMA, yang kalau tamat dijuluki tamatan Corona.
"Kalau dulu, kan kita sering dengar misalnya siswa gak pandai, kita bilang dia tamatan sekolah sore. Sekarang disebut juga tamatan ajaran orangtua, bukan ajaran sekolah.
Nah sekarang, imbuh Eben, bukan hanya nalar positip anak menjadi rendah, tetapi mereka dikhawatirkan menjadi malas dan memilih bermain game setiap hari. "Ya siapa yang mengawasi, orangtua mereka kerja. Kalau gak ada PR, ya apalagi, mereka menghabiskan waktu untuk bermain berbagai jenis game di rumah.
"Kadang istri saya marah karena anak-anak kerjanya main game, malah kalau dilarang mereka marah," ujar Eben, yang beristri seorang guru.
Eben khawatir dampak dari pembelajaran di rumah atau sistem daring ini akan semakin buruk jika pemerintah tidak mengantisipasinya dengan baik. "Kita ini gak tahu sampai kapan Covid-19 berakhir, nah kalau gak ada akhirnya, masak anak-anak kita belajar di rumah terus," jelasnya.
Karenanya, Eben sangat berharap agar Gubsu mengizinkan pembelajaran tatap muka dengan syarat dan protokol kesehatan yang ketat. "Saya rasa ini langkah yang baik ketimbang anak anak kita belajar di rumah entah sampai kapan," katanya.
Asalkan orangtua serius dan mengawasi anak-anak mereka ke sekolah, misalnya dengan menggunakan masker, hand sanitizer dan jaga jarak, Eben optimis belajar tatap muka di sekolah dapat dilaksanakan dengan baik.
"Yang penting saya kira, mari kita sama-sama menjaga agar kita semua terhindar dari Covid-19," pungkasnya. (erniyati)
Komentar
Posting Komentar