Jadi Pelakor? Awas Bisa Dijerat Sanksi Pidana






Medan

Pelakor atau perebut laki orang lain tak kerap menjadi trending topik di dunia maya. Fenomena pelakor yang muncul di media sosial memancing ragam reaksi dari netizen, terutama kaum hawa.  Apalagi sebagian besar kisah-kisah pelakor yang menjadi viral merupakan kisah nyata yang dialami oleh seseorang.

Berdasarkan peristiwa yang terjadi di sekitar, pelakor identik dengan perempuan yang merebut seorang laki-laki (suami) dari istri sahnya. Perbuatan tersebut biasanya dikenal dengan istilah selingkuh.

Namun perlu dipahami bahwa menjadi pelakor memiliki konsekuensi hukum. Memang tidak ada aturan yang secara khusus mengatur sanksi hukum bagi pelakor. Tetapi perlu diketahui bahwa ada sanksi bagi pelakor yang telah melakukan hubungan badan dengan suami orang lain.

Dikutip dari Klinik Hukumonline bertajuk “Risiko Hukum Menjadi ‘Pelakor’”, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) hukum perkawinan di Indonesia menentukan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, dalam upaya mewujudkan tujuan itu, pasangan suami-istri akan menemui bermacam batu ujian, misalnya adanya perselingkuhan baik dari pihak suami atau istri.

Selain dilarang oleh agama, perselingkuhan juga dapat menjadi pemicu retaknya rumah tangga. Jika perselingkuhan telah mengarah ke perbuatan zina (melakukan hubungan badan atau seksual dengan pasangan sah orang lain), maka suami/istri dari pasangan yang melakukan zina dapat melaporkan istri/suaminya ke polisi atas dasar Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berikut bunyi pasalnya:

Pasal 284

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti  dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

5. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209) menjelaskan lebih lanjut mengenai gendak/overspel atau yang disebut Soesilo sebagai zina adalah: persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.

Dari ketentuan di atas, tampak bahwa baik pelakor (sebagai perempuan yang melakukan hubungan seksual dengan suami orang lain) maupun laki-laki yang telah mempunyai pasangan sah (suami yang direbut oleh pelakor) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 284 KUHP. Namun, proses penuntutan secara pidana hanya dapat dilakukan atas pengaduan pasangan sah atau istri yang suaminya direbut oleh pelakor.

Ditegaskan pula oleh R. Soesilo bahwa Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (yang dimalukan).

R. Soesilo menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah, maksudnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa istrinya (B) telah berzina dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinaan dan C sebagai yang turut melakukan perzinaan, kedua-duanya harus dituntut.

Akan tetapi, karena pada dasarnya upaya hukum pidana seharusnya merupakan ultimum remidium (upaya terakhir) dalam penyelesaian suatu masalah, kami menyarankan bagi pasangan sah yang dirugikan untuk lebih mengedepankan upaya kekeluargaan dengan pasangan (suami) maupun pelakor tersebut dengan mengingat tujuan dari suatu perkawinan itu sendiri. (Tim)

Komentar