UU No 1/2023 KUHP Larang Perbuatan Zina Atau Kumpul Kebo


MEDAN:  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melarang perbuatan zina dan kohabitasi atau kumpul kebo.

Ketentuan soal perzinaan diatur dalam Pasal 411 KUHP dengan ancaman hukuman satu tahun penjara. Pelaku diancam dengan denda kategori II setara Rp10 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 79 KUHP.

"Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II," demikian bunyi pasal 411 ayat (1) KUHP.

Sementara itu, larangan kumpul kebo dicantumkan pada Pasal 412 KUHP. Pelaku kumpul kebo diancam hukuman penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak Rp10 juta.

"Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi Pasal 412 ayat (1) KUHP.

Dua pasal itu menegaskan pidana zina dan kumpul kebo adalah delik aduan. Artinya, tindakan tersebut bisa diproses hukum apabila ada aduan dari suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. Selain itu, juga bisa dilaporkan orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

"Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30," bunyi Pasal 412 ayat 3 KUHP.

KUHP baru telah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan telah diundangkan pada 2 Januari 2023. Undang-undang ini setelah tiga tahun. 

DELIK ADUAN

Secara detil, Budi Suhariyanto, peneliti Pusat Riset Hukum, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memaparkan tentang delik aduan absolut dalam diskusi pro-kontra KUHP yang diselenggarakan BRIN, Selasa (13/12).

“Delik aduan absolut, yaitu yang bisa menuntut itu adalah pihak suami atau istri yang dirugikan atau dipermalukan, bagi yang memiliki ikatan perkawinan, dan dari orang tua atau anaknya, bagi yang tidak memiliki ikatan perkawinan,” kata Budi.

Artinya, sebenarnya tidak ada perubahan fundamental dalam soal persetubuhan di luar pernikahan, antara KUHP lama dan baru. Sebagaimana Syarif, Budi menilai pemerintah dan DPR mencari jalan tengah, antara budaya lokal dan prinsip yang berkembang di masyarakat.

“Ini memang, katakanlah tidak terlalu ke kanan, dalam perspektif keagamaan, tetapi kemudian juga tidak terlalu ke kiri, yang bersifat misalnya liberal, yang hanya melihat sebagai privasi dan negara tidak mencampuri. Tetapi kemudian, ini dicari jalan tengahnya,” tambah Budi.

Perzinahan dalam KUHP diatur dalam pasal Pasal 411, yang berbunyi setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

Ketetapan serupa juga terdapat pada pasal 412 yang mengatur soal kumpul kebo atau kohabitasi. Bunyinya adalah: setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Menurut Budi, kumpul kebo sebelumnya belum diatur dan baru ada pada KUHP baru ini. Kehadirannya adalah untuk menyerap realitas sosial, budaya dan keagamaan yang ada di masyarakat Indonesia.

 “Jadi yang yang selama ini mungkin ketika kita di kampung, menggolongkan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan itu sebagai suatu hal yang katakanlah tidak tepat atau tercela. Nah kemudian, dalam KUHP baru ini coba mengkriminalisasi,” paparnya.

Di sejumlah masyarakat hukum adat, ketentuan semacam ini sebenarnya telah ada. Budi memberi contoh, di Bali ada yang disebut lokika sanggraha. Ia mengatakan ketentuan soal larangan hidup bersama tanpa perkawinan ini, bahkan beberapa kali menjadi dasar pengambilan keputusan oleh pengadilan setempat. Budi sendiri sebelumnya pernah melakukan penelitian terkait hal tersebut.

KUHP menetapkan perzinahan dan kumpul kebo sebagai delik aduan absolut, melalui ketentuan yang mengiringi pasal-pasal di atas.

Bunyi ketentuan itu adalah: terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Pengaduan juga dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

 Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, Selasa (13/12), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Hamonangan Laoly juga menyinggung persoalan tersebut.

“Ini adalah kedaulatan negara, hukum kita. Orang lain tidak boleh memaksakan sistem nilai mereka dalam hukum kita. Soal liberalisme seksual, saya katakan kita punya hukum adat. Kita mempunyai nilai-nilai agama, kita punya ini,” tegas Yasonna.

“Tapi kita juga membuka ruang, kepada orang-orang yang punya values yang berbeda, kita buat aturan bahwa ya memang dia delik aduan saja,” tambahnya. (tim)

Komentar