SENGSARAKAN BURUH, PD F SPKSI-SPSI SUMUT DESAK PEMERINTAH CABUT UU CIPTAKER

Borkat Hasibuan dari PD. F SPKSI-SPSI Sumut

MEDAN 

PD Federasi Serikat Pekerja Kependidikan Seluruh Indonesia - Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Sumatera Utara (PD. F SPKSI-SPSI Sumut), bersama serikat buruh lainnya menggelar aksi unjukrasa di depan gedung DPRD Sumut, Rabu (9/8). Salah satu tuntutan mereka adalah mendesak pemerintah mencabut Undang-Undang Cipta Kerja yang sangat mensengsarakan buruh dan pekerja.

Sambil membawa berbagai spanduk, Borkat Hasibuan dari PD. F SPKSI-SPSI Sumut mendesak pemerintah menolak dan meminta pemerintah mencabut Undang-undang (UU) Cipta Kerja No 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja karena keberadaannya telah menciptakan keterpurukan bagi kondisi kehidupan buruh.

Tuntutan selanjutnya, yaitu mencabut Pasal 100 (1) UU Kesehatan Omnibus Law No 06 Tahun 2023 yang tidak mewajibkan Pengusaha memasukkan kepesertaan buruh dan keluarganya menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Selain Itu, Ketua PD FSPNIBA Sumut Elfianti Tanjung SH juga mengatakan hak-hak pekerja banyak dikebiri oleh undang-undang  tersebut.

Di antaranya  upah minimum tidak dirundingkan dengan serikat buruh, dan adanya ketentuan mengenai indeks tertentu yang membuat kenaikan upah lebih rendah.

Lebih lanjut ia menjelaskan, mengenai outsourcing seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, itu merupakan perbudakan modern. "Ini artinya, Pemerintah telah memosisikan diri menjadi agen outsourcing," ujar dia.

Permasalahan lainnya, lanjut Borkat, adalah sistem kontrak buruh. Dia menilai sistem kontrak tersebut merugikan pihak pekerja yang dilakukan secara terus menerus tanpa periode. Kemudian pesangon rendah serta mudahnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para pekerja.

Said turut mempermasalahkan hilangnya hak cuti para pekerja, di antaranya yakni cuti bagi buruh perempuan yang tengah haid dan melahirkan serta tidak adanya kepastian upah. Adapun jam kerja buruh sangat menguras tenaga.

"Selanjutnya di klaster ketenagakerjaan adalah buruh kasar tenaga kerja asing mudah masuk, dan adanya sanksi pidana yang dihapus," sambung dia.

Sedangkan untuk petani, kata dia, yang dipersoalkan adalah terkait dengan keberadaan bank tanah yang memudahkan korporasi merampas tanah rakyat.

Selanjutnya, Borkat juga meminta segera berlakukan dan sahkan RUU Perlindugan Buruh Perkebunan menjadi Undang-Undang sebagai payung hukum bagi buruh yang bekerja pada sektor perkebunan," pungkas Anggiat.

Untuk tuntutan daerah di Sumut, massa meminta pemerintah untuk membentuk regulasi daerah dalam bentuk Perda Perlindungan Bagi Buruh Perkebunan khususnya pada sektor perkebunan kelapa sawit, meminta kepada Pemerintah Propinsi Sumatera Utara untuk menaikkan UMK tahun 2024 sebesar 15% sebagai bentuk komitmen perlindungan terhadap kehidupan buruh yang layak.

Lalu, jalankan Program Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Provinsi Sumatera Utara sesuai dengan Kelompok Kerja sebagai media kordinasi, komunikasi dan musyawarah untuk memastikan harmonisasi 3 pilar (Pemerintah, Pengusaha dan SP/SB) dalam hubungan industrial di Sumatera Utara. (tim)



 


Komentar