Pemilu 2024 Damai Tanpa Hoax

Oleh Erniyati Piliang

INDONESIA kembali menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak  yang akan digelar hari Rabu tanggal 14 Februari 2024. Pemilu serentak dimaksud adalah pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk pilkada yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota, serentak akan digelar pada hari Rabu tanggal 27 November 2024. 

Pemilu akan diikuti  17 partai politik ini menjadikan pesta demokrasi itu bukan hanya semarak, tetapi juga penuh berbagai tantangan yang berat. 

Sehingga hajatan demokrasi terbesar jelas membutuhkan kesiapan, dukungan dan komitmen bersama dari semua elemen masyarakat dan stakeholder (pemangku kepentingan) agar gawean massal ini berjalan aman, lancar, damai, bermartabat dan berkualitas – dan harus bersih dari virus hoax (berita tak benar) dan praktik money politic (politik uang).

Berkaca pada pilkada 9 Desember 2015 dan 2019 yang diikuti 270 dan 272 daerah, disusul 17 Februari 2017 di 101 daerah, pemilihan tahun ini menjadi sangat penting, lantaran berkelang setahun sesudahnya akan digelar pemilihan presiden dan legislatif. Karenanya, momentum bersejarah bagi kelangsungan proses demokrasi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus diseriusi dengan kerja keras sama bersama dan menyeluruh dari semua pihak.

Tak terkecuali untuk Provinsi Sumatera Utara (Sumut), yang menggelar pemilihan gubernur serentak dengan pemilihan bupati di kabupaten/kota.

Komitmen untuk tidak memberi ruang sekecil apapun bagi penyebar berita palsu bersama operatornya dan praktik politik uang harus secara konsisten ditegakkan dan dijalankan, terutama di tahapan krusial, yakni pemungutan dan penghitungan surat suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan rekapitulasi hasil penghitungan suara oleh KPU. 

Alasannya, meski deklarasi pilkada damai dan menolak berita palsu dan perbuatan kongkalikong diimbali materi dan janji muluk-muluk itu telah dibuhul di seantero negeri, termasuk di Sumut, tidak berarti keadaan aman-aman saja. 

Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, kita senantiasa diingatkan, bahwa metode dan bentuk gangguan selama pilkada dapat berubah seiring dengan berjalannya tahapan demi tahapan hingga hari pencoblosan.

Tidak berlebihan jika kita menyebutkan dua trending topic akhir-akhir ini adalah tingginya gelombang “tsunami” berupa penyebaran berita miring atau palsu atau nggak benar yang dapat menerjang siapa saja bahkan menenggelamkan satu kawasan. Satu lagi, politik uang, yang jika digandengkan dengan  si hoax tadi,  klop-lah mereka memporakporandakan sendi-sendi kehidupan sosial bahkan menciptakan perpecahan.

Sumbernya,  tak lain tak bukan adalah media sosial  disingkat medsos yang dapat menciptakan melalui platform informasi untuk menghasilkan berita yang seolah-olah benar menjadi ajang keributan, kebingungan atau kekacauan. 

Misalnya, menyebut di A terkait menerima imbalan saat kampanye dari satu calon, tetapi kenyataannya tidak demikian. Kalau dicerna secara asalan, maka ini tentu memunculkan kebenaran semu dan berharap dapat mendongrak popularitas saingannya.

Yang bikin kita tambah bingung adalah perang medos antara si sesama penyebar hoax itu sendiri – yang tak lain komplotannya sendiri – dengan cara hoax kontra hoax palsu, yakni membalas berita palsu dengan berita tambah miring pula. 

Umpamanya, “Saat mengunjungi satu kawasan, si B membagikan sesuatu kepada warga,” namun kemudian direspon oleh orang lain dengan ciutan berbeda: “Bukan hanya si B yang nyawer, tetapi juga si C pun bagi-bagi kaus”. Alhasil, B dab C bingung tiada alang, karena tidak ada bukti permulaan yang cukup menyebutkan tudingan itu.

Pelanggaran kampanye yang memunculkan istilah politik uang atau sembako disebut juga uang sogok berupa pemberian atau janji menyuap seseorang baik agar orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih, mungkin akan terciduk kalau diberikan terang-terangan.

JADIKAN KEKUATAN LAWAN HOAX

Dengan kemajuan teknologi dan informasi yang selain canggih, juga berubah setiap saat serta nyaris tak terjamah akal sehat kita,  maka pilkada serentak, termasuk di Sumut harus dijadikan kekuatan melawan secara masif agar hajatan itu dapat berjalan damai, tertib dan dijauhkan dari gangguan apapun.

Lebih-lebih pada tahun 2022 lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa atau setara dengan 54,68 persen dari total populasi Indonesia yang mencapai 262 juta jiwa berdasarkan survei Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia Tahun 2017. 

Lebih ngeri lagi, jumlah pengguna atau penduduk yang menggunakan di negeri ini berdasarkan data situs wearesocial.sg, sudah mencapai 371,4 juta pengguna atau 142 persen dari total populasi sebanyak 262 juta jiwa. 

Artinya, rata-rata setiap penduduk memakai 1,4 telepon seluler karena satu orang terkadang menggunakan 2-3 kartu telepon seluler. Ini belum dihitung dengan jumlah produk ponsel, smart phone, atau sejenisnya – baik yang legal maupun ilegal – yang makin canggih dan saban periodik beredar bahkan dijual dengan harga miring.

Ini sungguh memberi arti, kita telah terperenyak dengan angka-angka yang banyak itu. Tetapi kita juga tidak boleh kalah, karena yang menciptakan teknologi dan segala macam bentuk perangkatnya adalah manusia. Dan manusia itu pula yang punya cara pula untuk menangkalnya.

Yang membuat kita bangga adalah kita sering mendapat pujian.  Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi paling besar dan menjadi contoh bahwa Sumut masyarakatnya beragam, namun bisa hidup rukun bersama. Dan Sumut pun menjadi barometer dalam setiap pelaksanaan pilkada, karena selalu berlangsung aman, damai dan lancar.

Momentum ini harus dijadikan kekuatan bagi masyarakat Sumut untuk saatnya bangkit bersama bahkan melawan kekuatan pengaruh negatif dengan cara yang sesungguhnya adalah dalam diri kita: budayakan kecerdasan dan literasi.

Literasi bukan hanya sekadar melek teknologi, tetapi juga memilah-milah kebenaran semu dan kebenaran sesungguhnya. Adapun kecerdasan adalah kemampuan manusia yang menggunakan unsur logika dan pikiran untuk mendapatkan kebenaran.  

Jika mencakup unsur media, termasuk medos, maka sudah saatnya kita tidak terbawa pikiran dan terbuai dengan kecanggihan teknologi yang ada dalam media sosial itu, tetapi  harus memiliki kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan baik-buruknya pengaruh media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar kita sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.

Itu juga memberi kesan kepada semua pihak bahwa berbagai regulasi, perundan-undangan dan komitmen tidak cukup pada pencegahan, tetapi juga menyadarkan kita untuk melihat persoalan secara lebih intensif, tidak setengah-setengah dan melibatkan semua pihak. Perlu ada sisi hulu dan hilir.

Dari sisi hulu, perlu ada pencegahan dan literasi digital dapat terjadi di masyarakat atau kontrol sosial dan budaya. Sedangkan, dari sisi hilir konten negatif perlu penanganan berupa kontrol tindakan  teknologi seperti penghapusan atau pemblokiran konten negatif di internet. 

Ingat juga, masyarakat perlu diberi literasi bahwa memproduksi maupun menyebarkan berita-berita negatif dapat dikenakan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ancaman hukumannya bisa mencapai empat tahun penjara atau denda Rp250 juta.

Dalam hal ini,  peran instansi Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di semua provinsi di Indonesia, termasuk Sumut, sungguh diperlukan sebagai operator pelaksana.

Kominfo harus tegas dan melaksanakan ketentuan yang berlaku jika, misalnya penyelenggara plaform informasi tidak menyediakan tim monitoring konten dan fitur report, baik regional ataupun di Indonesia untuk masyarakat agar bisa melaporkan langsung apabila menemukan konten negatif..

Begitu juga halnya jika misalnya di hulu, Mabes Polri dan jajarannya menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Jaksa Agung membuat Satgas Money Politic untuk mengawasi seluruh pasangan calon kepala daerah yang menggunakan uang agar lolos sebagai pemenang, maka di hilir, perlu  ada  kerjasama masing-masing perusahaan platform dengan pemerintah dan organisasi ataupun komunitas masyarakat dalam mencegah adanya konten internet negatif, terutama yang berbau politik uang.

Bagi Provinsi Sumut, kita berharap pilkada serentak jadi semangat bagi kita untuk melakukan perubahan yang lebih baik ke depan. (Penulis wartawati Kilasberita65, dan artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah yang digelar DPW IWO Indonesia  dengan judul “Pemilu Damai Indonesia Ku”)

Komentar